Suasana Kota Surabaya yang amat panas. Di kamar yang sepi dan
sunyi, hanya ada aku sendirian. Teman-teman kamarku semuanya pulang. Tidak tau
apa yang akan aku lakukan. Aku termenung beberapa saat. Tiba-tiba terlintas
dalam benakku sosok sahabat yang kini telah tiada. Ia adalah Nabila. Ia telah
meninggalkanku dan teman-teman yang lain sejak lima tahun lalu, tepat pada akhir
kelas tiga SMA. Ia adalah sosok sahabat yang baik, lemah lembut, sopan, dan
rela berkorban demi orang lain. Ia selalu mementingkan orang lain dari pada
dirinya sendiri. Ia selalu menjaga perasaan orang lain dari pada menjaga
perasaannya sendiri.
Terlihat bulan yang bersinar terang, di kelilingi oleh
bintang-bintang dengan cahayanya yang indah. Suasana di pondok pesantren An-Nur
mulai sepi dan sunyi. Banyak santri yang telah terlelap dan telah berada di
dunia mimpi masing-masing. hanya ada beberapa yang belum tidur, karena masih
belajar dan mengerjakan PR. “Kamu belum ngantuk, Nabila?” tanyaku pada Nabila.
“Belum bisa tidur nih, padahal tadi udah sempat ngatuk. Kamu sendiri belum
tidur, Dina?” kata Nabila padaku. Kemudian aku menjawab, “Iya ini saya mau
tidur, Nabila. Saya tidur dulu ya, selamat malam.” “oke..!! selamat malam
juga.” jawabnya singkat. Entah apa yang dilakukan Nabila, ia terlihat masih
menulis di buku catatan kecilnya, semacam buku diary. Namun aku tak
mempedulikannya. Karena saat itu mataku sudah sangat ngantuk. Kemudian aku
terlelap dan tiba di alam mimpi.
Matahari bersinar cerah menyambut pagi yang indah. Kicauan burung
yang terbang ke sana ke mari. Air sungai mengalir dengan tenang nan damai.
Dedaunan melambai-lambai dan menari dengan alunan suara angin yang berhembus.
Sungguh suasana pagi yang cerah dan menyejukkan. Begitu juga suasana di SMA
Mawar, siswa-siswi terlihat cerah wajahnya dengan saling melontarkan senyum dan
sapa pada yang lain. Lima menit setelah bel berbunyi, pak guru masuk ke kelas
kami. Kini pelajaran Matematika siap dimulai sampai jam istirahat nanti.
“Waktunya istirahat.” Kata teman sekelasku, Linda. “ke kantin yuk.”
Kata Nia mengajak kita ke kantin. “Ayo..” jawab teman-teman serentak, kecuali
Nabila dan aku. “Maaf teman-teman, kita tidak bisa ikut, soalnya kita mau ke
perpustakaan.” Kata Nabila. “Baiklah, tidak apa-apa Nabila.” Jawab Linda dengan
tersenyum. Saat itu teman-teman pergi ke kantin. Sedangkan aku dan Nabila pergi
ke perpustakaan. Selama sepuluh menit kita baru menemukan buku-buku yang
dicari. “Maaf mbak, ada satu buku yang belum dikembalikan. Jadi anda tidak
dapat meminjamnya.” Kata petugas perpustakaan pada Nabila. “Maaf pak, kemarin
bukunya sudah dikembalikan oleh teman saya.” Jawab Nabila dengan terkejut.
“Tapi di kartu anda belum terlihat keterangan bahwa buku tersebut telah
dikembalikan.” Kata petugas perpustakaan. “Maaf pak, bolehkah saya meminta
nomor reg buku itu, biar saya cari di dalam.” Kemudian petugas perpustakaan itu
memberikan nomor reg buku tersebut pada Nabila.
“Siapa yang mengembalikan buku itu, Nabila?” tanyaku pada sebelum
Nabila masuk lagi ke dalam perpustakaan. “waktu itu Ifa yang meminjamnya tapi
pakai kartuku, dan katanya kemarin sudah dikembalikan. Emm.. Dina, kamu tunggu
saja di luar ya, atau kalau aku nanti lama, kamu ke kelas saja duluan tidak
apa-apa.” Jawabnya. “Baiklah Nabila, tapi sebentar lagi sudah bel masuk. Apa
sebaiknya tidak dicari besok saja?” kataku. “Tidak Dina, soalnya buku mau aku
pinjam ini penting sekali. Buku-buku ini mengenai penulisan karya ilmiah. Aku
harus menyelesaikan karya ilmiahku dua hari lagi. Karya ilmiah itu sangat
penting bagiku. Karena jika aku menang dalam lomba karya ilmiah ini, maka aku
bisa kuliah. Karena itu sebagai persyaratannya.” Kata Nabila dengan wajah yang
cemas. “Baiklah kalau begitu, Nabila. Semoga bukunya segera ketemu ya.”
Jawabku. “Iya, Amin.” Kata Nabila.
Nabila sangat menginginkan bisa kuliah di Institut Pertanian Bogor
(IPB). Ia berharap bisa menjadi juara dalam perlombaan menulis karya ilmiah.
Karena dengan cara itu, ia bisa kuliah. Ia adalah sosok yang pintar, jenius,
dan penuh semangat. Ia telah berkali-kali mengikuti tes ujian masuk perguruan
tinggi dengan program beasiswa. Namun ia belum diterima. Hanya saja
perekonomian orang tuanya tergolong kurang mampu. Jadi ia tidak ingin
memberatkan atau membebani kedua orang tuanya lagi untuk melanjutkan ke bangku
perkuliahan.
Aku menunggu Nabila di depan perpustakaan seorang diri. Namun,
ketika aku melihat jam, ternyata sudah jam sepuluh dan bel masuk telah berdering.
Terpaksa aku meninggalkan Nabila di perpustakaan. Karena jika tidak, kami akan
dicari dan ditanyakan oleh guru. Namun, dengan aku kembali ke kelas lebih dulu,
aku akan menjelaskannya pada pak guru bahwa Nabila masih mencari buku di
perpustakaan. Tidak lama kemudian, Nabila masuk ke kelas dengan tangan kosong.
Ia tidak membawa buku-buku yang telah ia cari bersmaku tadi. Artinya buku itu
belum ditemukan.
Setelah mata pelajaran Fisika selesai, aku dan teman-teman sekelas
yang lain menunggu guru Bahasa Inggris yang merupakan jam mata pelajaran
terakhir. “Nabila, bagaimana bukunya?” tanyaku pada Nabila. “Tidak ketemu,
Dina.” Jawabnya singkat. Kemudian aku pergi ke bangku Ifa, “Ifa, apa benar kamu
sudah mengembalikan buku Biologi yang kamu pinjam dengan kartu Nabila?” dengan
polosnya Ifa menjawab, “Oiya Maaf saya lupa, yang saya kembalikan kemarin itu
Kamus Biologi. Dan buku paket Biologinya ada di rumah saya, nanti saya ambil
aja ke rumahku ya Nabila.” “Oh..begitu, ya udah tidak apa-apa Ifa, biar nanti
saya ambil ke rumahmu.” Jawab Nabila. Kebetulan rumah Ifa dekat dengan
pesantren yang kita tempati.
Beberapa menit kemudian pak guru datang dan memulai pelajaran
Bahasa Inggris. Kali ini, pak guru memberi tugas mentranslate sebuah lagu ke
dalam Bahasa Inggris. Sebelum kita mengerjakannya, kita disuruh mendengarkan
lagu tersebut. Ternyata itu lagu yang cukup terkenal. Yah itu adalah lagu
berjudul Saat Kau Pergi yang dipopulerkan dan dinyanyikan oleh Vagetoz. Dan itu
adalah lagu favorit Nabila. Setelah mendengarkan lagu, tidak sengaja kulihat
wajah Nabila berbeda dari biasanya. Ia terlihat lebih cantik dan merona. “Tapi
kenapa Nabila memandang teman-teman satu per satu. Ia juga memandang seluruh
isi yang ada di kelas itu.” Kataku dalam hati. Namun aku segera mengalihkan
pandangan karena tugasku belum selesai.
Sepulang sekolah dan selesai sholat Dhuhur, Nabila pergi ke rumah Ifa
untuk mengambil buku. Kemudian ia mengembalikan buku itu ke perpustakaan
sekolah. “Alhamdulillah, akhirnya aku bisa meminjam buku-buku ini.” Ujarnya.
Setelah mengembalikan dan meminjam buku-buku tentang karya ilmiah, ia langsung
kembali ke pesantren. Ketika ia hendak menyeberang di jalan raya depan SMA
Mawar, ia melihat seorang nenek yang hendak menyeberang juga. Jadi ia menolong
dan mengajak nenek tersebut menyeberang. Ketika sampai di perseberangan jalan,
ia melihat sebungkus nasi jatuh di tengah jalan. Dan ia berfikir bahwa nasi itu
kepunyaan nenek yang telah ia tolong. Tanpa berfikir panjang ia langsung
mengambil nasi tersebut. Nenek berteriak, “Hati-hati nak, ada truk di
belakangmu.” Nabila tidak terdengar suara nenek tersebut, dan tanpa disadari.
“Braaaaaaaaak…” Suara keras truk telah menabrak Nabila. Berceceran darah yang
keluar dari kepala Nabila. Ia tergeletak tak sadarkan diri. Ketika itu pula, ia
langsung dilarikan ke rumah sakit.
Beberapa jam setelah kecelakaan itu, aku dan ibu Nabila datang ke
rumah sakit. Kami berdua berharap agar ia segera sadar dan kembali tersenyum.
Ia sangat berarti bagiku. Ia adalah sahabat yang pengertian. Ia tak pernah
merasa mengeluh. Saat itu ayah Nabila tidak bisa ikut ke rumah sakit, karena
ayah Nabila juga sedang sakit. “Nak, sebaiknya kamu kembali ke pesantren, biar
saya yang menjaga Nabila di sini. Bukankan besok kamu harus sekolah, dan
sebentar lagi Ujian Nasional, jadi kamu harus belajar.” Kata Ibu Nabila padaku.
“Tidak Bu, saya ingin ada di samping nabila saat ia sadar.” Jawabku. “Jangan
nak, kamu harus kembali dan istirahat, tentu Nabila juga tidak ingin kamu
kecapekan. Tidak apa-apa biarkan saya yang menjaganya. Kalau nanti ada apa-apa,
saya akan kabari kamu, nak.” Kata Ibu Nabila dengan mengelus jilbabku. “Baiklah
Bu, kalau negitu saya pulang dulu, Asslamu’alaikum.” Kataku berpamitan dan
mencium tangan Ibu Nabila. “Wa’alaikumsalam, hati-hati nak.” Katanya. “Baik
Bu.” Jawabku.
Satu hari setelah kecelakaan Nabila, suasana menjadi sangat
berbeda. Suasana pagi itu terasa amat dingin tidak seperti biasanya. Angin
bertiup kencang. Tapi langit tampak cerah. Aku tidak tau apa yang sedang
terjadi.
Ketika jam istirahat, ibu guru memberi kabar bahwa baru saja ibu
Nabila menelfon pihak sekolah. Ia memberitahukan bahwa Nabila sudah meninggal.
Aku sangat terkejut dan seakan tidak percaya dengan kabar itu. Tidak hanya aku,
teman-temanku juga tidak mempercayainya. Namun, hal itu memang benar-benar
telah terjadi pada Nabila. Air mata ini tiba-tiba mengalir dengan deras seperti
sungai. Aku tak bisa lagi membendungnya. Aku kehilangan sahabat yang sangat
baik dan berarti bagiku. Ketika itu tiba-tiba aku mengalihkan pandangan pada
Ifa, “Ifa, kenapa kamu menyuruh Nabila pergi ke rumahmu dan mengambil buku itu?
Seharusnya kamu yang bertanggung jawab mengembalikannya. Karena kamu sebenarnya
yang meminjam buku itu. Seandainya kamu tepat waktu mengembalikan buku itu.
Maka hal ini tidak mungkin terjadi. Dan Nabila pasti masih ada di sisi kita.”
Kataku dengan deraian air mata. “Tenang Dina, tenang, semua ini sudah takdir
Allah. Mungkin Allah telah merindukan Nabila agar kembali kesisi-Nya. karena
Nabila adalah orang yang baik dan taat. Kita harus ikhlas dan kita tidak boleh
menyalahkan siapa pun. Karena semua ini sudah ada dicatatan Allah.” Linda
mencoba menenangkan hatiku. “Iya.. maafkan aku Ifa.” Kataku singkat. “Iya tidak
apa-apa Dina, aku mengerti perasaanmu.” Jawab Ifa.
Pada siang harinya, aku, teman-teman, para guru, bahkan Kyai Sholeh
pun ikut mensholati jenazah Nabila. Rumah dan halamnnya dipenuhi oleh
orang-orang yang mengenalnya. Ketika itu aku melihat wajah Nabila untuk
terakhir kalinya. Wajah Nabila begitu berseri, ia terlihat amat cantik. Dan ia
pergi dengan senyum yang indah dibibirnya.
Setelah acara pemakaman, ibu Nabila memanggilku, “Dina, sebelum
Nabila pergi, ia sempat sadar. Namun hanya dalam beberapa menit saja. Pada
waktu itu ia menitipkan salam untukmu. Ia minta maaf atas segala kesalahannya
padamu. Ia sangat senang bisa memiliki sahabat sepertimu.”. aku tak bisa menahan
tangis lagi, aku langsung memeluk ibu Nabila seraya berkata, “Iya Bu, aku juga
sangat senang mempunyai sahabat seperti Nabila. Ia adalah anak yang baik dan
pintar. Ia selalu ada disaat aku membutuhkannya. Tapi aku jarang ada disaat ia
membutuhkan aku. Ada satu hal yang aku sesali, Bu.” “Apa itu nak?” Tanya Ibu
Nabila. “aku belum sempat meminta maaf dan mengucapkan terimakasih padanya,
Bu.” Jawabku. “Ibu yakin Nabila sudah memaafkanmu nak, walaupun kamu belum
meminta maaf padanya. Sudahlah, kamu jangan menyesalinya. Kita tidak boleh
menangis lagi. Karena Nabila pasti akan sedih jika kita masih menangis.”
Kata-kata ibu Nabila menenangkanku.
Dengan langkah yang berat, aku kembali ke pesantren. Ketika tiba di
kamar, bayangan Nabila seperti tidak hilang. Ia seperti masih ada di kamar.
Kubuka lemariku, tiba-tiba terlihat buku kecil berwarna ungu. Ternyata itu
adalah buku catatan atau buku diary Nabila. Aku tidak tau kenapa buku itu bisa
ada di lemariku. Setelah kulihat ternyata tanpa kusadari, Nabila telah menulis
sesuatu di kertas lemariku. Yang isinya, “Dina, aku berikan buku ini ke kamu
ya, anggap saja ini sebagai kenang-kenangan dariku. Karena sebentar lagi kita
akan berpisah. Dibuku itu kutulis berbagai macam kenangan persahabatan kita. Di
dalamnya juga ada catatan pribadiku. Kamu bisa membacanya kapanpun yang kamu
mau. Dan ada satu hal yang tidak mungkin terjadi padaku, oleh karena itu kamu
harus melakukannya untukku, Dina. Hal itu kutulis dihalaman terakhir.” Aku
penasaran dan membuka buku itu, kemudian membacanya. Dihalaman pertama kubaca
tulisan:
“Aku bukan orang yang pintar,
namun aku ingin menjadi orang yang baik.
Aku memang bukan orang yang cantik,
namun aku akan melakukan yang terbaik buat orang-orang disekitarku”
Dan diakhir tulisannya kubaca:
Untuk Kak As’ad: “Sejak pertama kali bertemu denganmu, aku
merasakan perasaan yang berbeda. Setiap kali aku bertemu denganmu, aku
menundukkan kepala karena malu. Tapi aku sangat senang jika bertemu denganmu.
Selama tiga tahun ini, baru aku sadari, ternyata perasaan yang aku alami adalah
perasaan cinta terhadapmu. Tapi aku tidak berani mengungkapkannya. Karena aku
sadar, aku bukan siapa-siapa.”
Untuk Bapak dan Ibu tercinta: “Bapak.. ibu.. Nabila merasa berbeda
akhir-akhir ini. Nabila kakak telah menungguku di seberang jembatan. Jika
memang ini saatnya Nabila harus pergi. Maka maafkan atas semua kesalahan Nabila
pada bapak dan ibu. Selama Nabila hanya bisa menyusahkan bapak dan ibu. Dan terimakasih untuk semuanya, untuk kasih
sayang kalian pada Nabila.”
Untuk Dina, sahabatku: “Jika
memang ini adalah hari terakhirku untuk hidup di dunia. Maka aku ingin kamu yang
akan hidup dengan Kak As’ad. Aku tau kau juga menyukainya. Oleh karena itu, aku
ingin kau bahagia bersamanya. Dan aku yakin Kak As’ad juga menyukaimu. Karena
ia pernah Tanya padaku tentangmu.”
Deraian air mata ini tak bisa kubendung lagi. Air mata mengalir
deras membasahi pipiku. Lagi-lagi aku menyesal, “mengapa selama ini aku tidak
menyadari bahwa Nabila juga menyukai Kak As’ad? Maafkan aku Nabila.
Kemudian di bawah tulisan-tulisan itu, kutulis:
“Selamat jalan sahabat. Terimakasih atas kebaikanmu selama ini.
Terimakasih kau telah hadir dalam hidupku. Maafkan jika aku banyak salah
padamu. Maafkan aku tidak menyadari bahwa kamu juga mencintai Kak As’ad.
Mungkin batu nisan memisahkan raga kita. Namun batu nisan tidak
akan bisa memisahkan jiwa kita. Jiwa kita akan selalu bersama. Sekali lagi,
Selamat Jalan sahabatku..”
Waktu cepat berlalu. Kini empat puluh hari setelah kepergian
Nabila. Ujian nasional pun telah berlalu satu minggu yang lalu. Bapak kepala
sekolah mengumumkan siswa-siswi yang diterima diperguruan tinggi negeri dengan
jalur beasiswa. Salah satunya adalah Nabila, ia diterima di IPB karena hasil
karya tulisnya yang bagus dan mendapatkan juara 1 tingkat nasional. “Andai saja
Nabila ada di sini sekarang, pasti ia sangat senang,” batinku. Dan satu hal
yang tidak aku sangka, ternyata aku juga diterima di Universitas Airlangga
Surabaya jurusan Fisika, sesuai dengan keinginan dan impianku selama ini.
“Alhamdulillah Ya Allah.” Ucapku bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar