Laman

Rabu, 11 April 2012

Konsep Islam terhadap Pembelaan Kaum Lemah


Surat al-Ma’un ayat 7
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُون.
Artinya: “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Tafsir:
Kata  ) الماعون ( al-ma’un, menurut sementara ulama, terambil dari akar kata (معونة) ma’unah yang berarti bantuan. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ) الماعون ( al-ma’un berarti membantu dengan bantuan yang jelas, baik dengan alat-alat maupun fasilitas, yang memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Tidak kurang dari sepuluh pendapat tentang maksud kata ) الماعون ( al-ma’un/bantuan, (yang sedikit itu), antara lain:
1.      Zakat
2.      Harta benda
3.      Alat-alat rumah tangga
4.      Air
5.      Keperluan sehari-hari, seperti peruik, pacul, piring, dan sebagainya.[1]
Ibnu Katsir menjelaskan maksud وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ , “ maksudnya mereka tidak baik ibadahnya kepada Tuhan dan tidak baik pergaulannya kepada makhluk-Nya, mereka pun tidak memberikan bantuan yang bermanfaat. Mereka adalah orang yang menolak membayar zakat dan berinfaq kepada kerabat.[2]
Menurut Al Qurthubi ada 12 makna yang berkaitan dengan ayat ini (وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُون) dengan tidak lagi menyebutkan riwayatnya:
1.      Zakat dari harta-hartanya.
2.      Al-maal, harta benda secara umum.
3.      Nama yang mencakup hal-hal yang bermanfaat di rumah tangga seperti kapak, periuk, dan lain-lain.
4.       Setiap sesuatu yang bermanfaat, baik itu sedikit atau banyak di masa jahiliyah; dan dimasa Islam bermakna zakat dan taat.
5.      Pinjaman
6.      Sesuatu yang dikenal sebagai hal penting yang diberikan kepada sesame manusia.
7.      Air dan rerumputan.
8.      Air saja.
9.      Menolak untuk jujur
10.  Sesuatu yang digunakan untuk mandi dan barang-barang yang diperlukan.
11.  Taat dan mematuhi Allah.
12.  Air, api, dan garam.[3]
Al-Ma’un: Kini untuk Mewakili Segala Pemberdayaan Kaum Lemah
Al-Ma’un adalah kata yang digunakan oleh Nabi Muhammad yang menangkap pesan Allah untuk mewakili segala jenis keperluan yang dibutuhkan manusia, jauh di atas ithamu miskin, air, periuk, kapak, dan lain-lain. Oleh karena itu, makna religiusnya bisa saja ia disebut zakat dan sedekah dalam segala bentuknya. Akan tetapi sebagai sebuah mekanisme untuk melakukan perubahan dalam tatanan social, zakat dan sedekah hanyalah salah satu dari tuntutan moral, bukan satu-satunya. Dalam soal strategi dan mekanisme pembaruan tatanan social, perintah “berbuat keadilan” yang secara praksis bisa menyentuh ke pembaruan structural untuk mengatasi akar dari ketimpangan, jauh lebih penting.
Dengan begitu, untuk konteks zaman kini, makna al-Ma’un bisa digunakan untuk mewakili gerakan yang lebih luas dari sekedar membantu orang yatim, atau member makan fakir miskin. Kata al-Ma’un bisa digunakan untuk mewakili segala jenis bantuan yang harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan, baik ia meminta maupun tidak meminta.
Karena disebut mewakili segala jenis bantuan yang diperlukan, dia bisa berbentuk materi, psikologis, perlindungan hokum, perlindungan senjata, dan segala peralatan yang dibutuhkan.
Al-Ma’un: Bukan Hanya Khusus untuk Orang Mukmin
Begitu dahsyatnya makna al-Ma’un di atas, juga bisa dilihat dalam keutamaan moral yang dikandungnya, tidak seperti yang kita kira, yakni hanya untuk umat Muhammad. Ternyata, al-Ma’un tidak hanya dikhususkan untuk orang mukmin yang mengikuti Muhammad. Al-Ma’un berlaku umum, bisa diberikan kepada siapa saja: ras, suku, etnik, bangsa, bahasa, dan seterusnya.
Hal ini juga menunjukkan betapa agungnya Tuhan semua makhluk, yang dengan perantaan Muhammad lewat mushaf ‘Ustmani ini, tidak membeda-bedakan bantuan itu diberikan kepada orang tertentu. Bantuan kepada mereka yang memerlukan, dan tiidak dibeda-bedakan disebabkan karena adanya: ketidak adilan, ketertindasan, kepayahan dalam hidup, kemiskinan, lemahnya posisi, lemahnya nyali, dan seterusnya yang bisa terjadi dan dilakukan di (dan oleh) semua kelompok, agama, pengikut kenabian tertentu, dan sekte apa pun.[4]
Asbabun nuzul:                   
Pada ayat 4 sampai 7 turun berkenaan dengan orang orang Munafik yang memamerkan shalat kepada orang orang beriman; mereka melakukan shalat dengan riya' dan meninggalkannya jika tidak ada yang melihatnya serta menolak memberikan memberikan bantuan kepada orang miskin dan anak yatim. (Riwayat Ibnu Mundzir)[5]
Sarana Pengentasan Kemiskinan
Diantara sarana-sarana yang diberikan oleh Islam untuk mengentaskan kemiskinan, antara lain:
1.      Sarana yang pertama, hanya khusus untuk fakir miskin. Ia harus ditunaikan ketika seseorang mampu dan memiliki harta kekayaan. Masyarakat dan negara wajib memberikan bantuan material dan dukungan moral sehingga bisa terlaksana dengan baik.
2.      Sarana yang kedua, terkait dengan masyarakat Islam secara kolektif, yang harus sama-sama peduli terhadap persoalan yang dihadapi fakir miskin. Hal itu berlandaskan hokum wajib dari Tuhan atau karena mengharapkan pahala dari-Nya. Bentuk-bentuk jaminan tersebut:
a.       Nafkah untuk anggota keluarga dan kerabat.
b.      Perlindungan atas hak tetangga.
c.       Menunaikan zakat yang diwajibkan, sekalipun tidak ada instruksi dari negara Islam.
d.      Melaksanakan hak-hak yang terkait dengan harta, seperti berbagai bentuk kafarat atau nazar, memberikan bantuan terhadap orang yang berada dalam kondisi darurat, atau membutuhkan bantuan, dan lain sebagainya.
e.       Sedekah suka rela, baik regular atau permanen, yang salah satu bentuknya berupa wakaf untuk kepentingan umum.
3.      Sarana ketiga, terkait dengan negara Islam yang secara normative-doktriner wajib memberikan jaminan terhadap semua anggota masyarakat yang memerlukan bantuan, sementara ia tidak mendapatkan perhatian dari anggota masyarakat sendiri. Dalam hal ini, tidak ada deskriminasi antara warga negara yang muslim atau non muslim, selama hidup dalam wilayah tutorial negara Islam.
Sumber dana untuk kepentingan jaminan ini berasal dari:
a.       Zakat
b.      Sumber dana lain, seperti 20% dari ghanimah, semua sumber ekonomi yang dikuasai oleh negaa, dan lain sebagainya.
c.       Sumber-sumber pendukung, berupa pajak dan berbagai bentuk pungutan untuk menambah kekurangan kas.[6]
Al-Qur’an tidak hanya menghimbau untuk memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta. Tetapi lebih dari itu membebani setiap orang Mu'min mendorong pula orang lain memperhatikan orang-orang miskin dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat. Dalam surat Al Fajr ayat 17-18, Allah membentak orang-orang Jahiliah yang mengatakan bahwa agama mereka justru untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berasal dari nenek moyang mereka, Ibrahim; Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.
Demikian pula pada surat Al Ma’un dimana dikatakan; orang yang mengusir anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin" dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama. Orang yang tidak pernah menghimbau orang lain untuk memberi makan orang miskin biasanya tidak pernah pula memberi makan orang miskin tersebut. Tuhan mengungkapkan dalam bentuk sindiran dengan tujuan apabila seseorang tidak mampu memenuhi harapan orang miskin, maka ia harus meminta orang lain melakukannya.
Digambarkan disini orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadarai sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik sendiri yang dapat mereka perlakukan semau mereka, tetapi menyadari bahwa di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang butuh. Dan hak itu bukan pula merupakan hadiah atau sumbangan karena kemurahan hati mereka, tetapi sudah merupakan hak orang-orang tersebut. Penerima tidak bisa merasa rendah dan pemberi tidak bisa merasa lebih tinggi.
Ayat-ayat di atas diturunkan di Makkah, sementara zakat diwajibkan di Madinah. Dengan demikian, sejak saat-saat awal kurun Makkah, Islam telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang-orang Islam bahwa ada hak-hak orang yang berkekurangan dalam harta mereka. Hak yang harus dikeluarkan, tidak hanya berupa sedekah sunnat yang mereka berikan atau tidak diberikan sekehendak mereka sendiri.
Walau Al Quran sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makiah, namun demikian zakat itu sendiri baru diwajibkan di Madinah. Zakat yang turun dalam ayat-ayat Makiyah tidak sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolahnya.
Daftar Pustaka
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah Volume 15. Jakarta: Lentera Hati.
Ridwan, Nur Khalik. 2008. Tafsir surah Al-Ma’un. Jakarta: Erlangga.
Qardhawi, Yusuf. 2002. Teologi Kemiskinan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.


[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 650.
[2] Nur Khalik Ridwan, Tafsir surah Al-Ma’un, (Jakarta: Erlangga, 2008 ), hal. 238.                 
[3] Ibid, hal. 246-247.
[4] Ibid, hal. 252-255.
[6] Yusuf Qardhawi, Teologi Kemiskinan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hal. 288-289.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar