Surat
al-Ma’un ayat 7
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُون.
Artinya: “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Tafsir:
Kata ) الماعون
( al-ma’un, menurut sementara ulama, terambil dari akar kata (معونة) ma’unah yang
berarti bantuan. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ) الماعون
( al-ma’un berarti membantu dengan bantuan yang jelas, baik dengan
alat-alat maupun fasilitas, yang memudahkan tercapainya sesuatu yang
diharapkan. Tidak kurang dari sepuluh pendapat tentang maksud kata ) الماعون
( al-ma’un/bantuan,
(yang sedikit itu), antara lain:
1.
Zakat
2.
Harta
benda
3.
Alat-alat
rumah tangga
4.
Air
5.
Keperluan
sehari-hari, seperti peruik, pacul, piring, dan sebagainya.[1]
Ibnu
Katsir menjelaskan maksud وَيَمْنَعُونَ
الْمَاعُونَ
, “ maksudnya mereka tidak baik ibadahnya kepada Tuhan dan tidak baik
pergaulannya kepada makhluk-Nya, mereka pun tidak memberikan bantuan yang
bermanfaat. Mereka adalah orang yang menolak membayar zakat dan berinfaq kepada
kerabat.[2]
Menurut
Al Qurthubi ada 12 makna yang berkaitan dengan ayat ini (وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُون)
dengan tidak lagi menyebutkan riwayatnya:
1.
Zakat dari harta-hartanya.
2.
Al-maal, harta
benda secara umum.
3.
Nama yang mencakup hal-hal yang bermanfaat di rumah
tangga seperti kapak, periuk, dan lain-lain.
4.
Setiap sesuatu yang bermanfaat, baik itu sedikit atau
banyak di masa jahiliyah; dan dimasa Islam bermakna zakat dan taat.
5.
Pinjaman
6.
Sesuatu yang dikenal sebagai hal penting yang diberikan kepada
sesame manusia.
7.
Air dan rerumputan.
8.
Air
saja.
9.
Menolak
untuk jujur
10. Sesuatu yang digunakan untuk mandi dan barang-barang yang
diperlukan.
11. Taat dan mematuhi Allah.
12. Air, api, dan garam.[3]
Al-Ma’un: Kini untuk Mewakili Segala Pemberdayaan Kaum Lemah
Al-Ma’un adalah kata
yang digunakan oleh Nabi Muhammad yang menangkap pesan Allah untuk mewakili
segala jenis keperluan yang dibutuhkan manusia, jauh di atas ithamu miskin, air,
periuk, kapak, dan lain-lain. Oleh karena itu, makna religiusnya bisa saja ia
disebut zakat dan sedekah dalam segala bentuknya. Akan tetapi sebagai sebuah
mekanisme untuk melakukan perubahan dalam tatanan social, zakat dan sedekah
hanyalah salah satu dari tuntutan moral, bukan satu-satunya. Dalam soal
strategi dan mekanisme pembaruan tatanan social, perintah “berbuat keadilan”
yang secara praksis bisa menyentuh ke pembaruan structural untuk mengatasi akar
dari ketimpangan, jauh lebih penting.
Dengan
begitu, untuk konteks zaman kini, makna al-Ma’un bisa digunakan untuk
mewakili gerakan yang lebih luas dari sekedar membantu orang yatim, atau member
makan fakir miskin. Kata al-Ma’un bisa digunakan untuk mewakili segala
jenis bantuan yang harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan, baik ia
meminta maupun tidak meminta.
Karena
disebut mewakili segala jenis bantuan yang diperlukan, dia bisa berbentuk
materi, psikologis, perlindungan hokum, perlindungan senjata, dan segala
peralatan yang dibutuhkan.
Al-Ma’un:
Bukan Hanya Khusus untuk Orang
Mukmin
Begitu
dahsyatnya makna al-Ma’un di atas, juga bisa dilihat dalam keutamaan
moral yang dikandungnya, tidak seperti yang kita kira, yakni hanya untuk umat
Muhammad. Ternyata, al-Ma’un tidak hanya dikhususkan untuk orang mukmin
yang mengikuti Muhammad. Al-Ma’un berlaku umum, bisa diberikan kepada
siapa saja: ras, suku, etnik, bangsa, bahasa, dan seterusnya.
Hal
ini juga menunjukkan betapa agungnya Tuhan semua makhluk, yang dengan perantaan
Muhammad lewat mushaf ‘Ustmani ini, tidak membeda-bedakan bantuan itu diberikan
kepada orang tertentu. Bantuan kepada mereka yang memerlukan, dan tiidak
dibeda-bedakan disebabkan karena adanya: ketidak adilan, ketertindasan,
kepayahan dalam hidup, kemiskinan, lemahnya posisi, lemahnya nyali, dan
seterusnya yang bisa terjadi dan dilakukan di (dan oleh) semua kelompok, agama,
pengikut kenabian tertentu, dan sekte apa pun.[4]
Asbabun nuzul:
Pada ayat 4 sampai 7 turun berkenaan dengan orang orang Munafik
yang memamerkan shalat kepada orang orang beriman; mereka melakukan shalat
dengan riya' dan meninggalkannya jika tidak ada yang melihatnya serta menolak
memberikan memberikan bantuan kepada orang miskin dan anak yatim. (Riwayat Ibnu
Mundzir)[5]
Sarana
Pengentasan Kemiskinan
Diantara sarana-sarana yang diberikan oleh Islam untuk mengentaskan
kemiskinan, antara lain:
1.
Sarana
yang pertama, hanya khusus untuk fakir miskin. Ia harus ditunaikan ketika
seseorang mampu dan memiliki harta kekayaan. Masyarakat dan negara wajib
memberikan bantuan material dan dukungan moral sehingga bisa terlaksana dengan
baik.
2.
Sarana
yang kedua, terkait dengan masyarakat Islam secara kolektif, yang harus
sama-sama peduli terhadap persoalan yang dihadapi fakir miskin. Hal itu
berlandaskan hokum wajib dari Tuhan atau karena mengharapkan pahala dari-Nya. Bentuk-bentuk
jaminan tersebut:
a.
Nafkah
untuk anggota keluarga dan kerabat.
b.
Perlindungan
atas hak tetangga.
c.
Menunaikan
zakat yang diwajibkan, sekalipun tidak ada instruksi dari negara Islam.
d.
Melaksanakan
hak-hak yang terkait dengan harta, seperti berbagai bentuk kafarat atau nazar,
memberikan bantuan terhadap orang yang berada dalam kondisi darurat, atau
membutuhkan bantuan, dan lain sebagainya.
e.
Sedekah
suka rela, baik regular atau permanen, yang salah satu bentuknya berupa wakaf
untuk kepentingan umum.
3.
Sarana
ketiga, terkait dengan negara Islam yang secara normative-doktriner wajib
memberikan jaminan terhadap semua anggota masyarakat yang memerlukan bantuan,
sementara ia tidak mendapatkan perhatian dari anggota masyarakat sendiri. Dalam
hal ini, tidak ada deskriminasi antara warga negara yang muslim atau non
muslim, selama hidup dalam wilayah tutorial negara Islam.
Sumber
dana untuk kepentingan jaminan ini berasal dari:
a.
Zakat
b.
Sumber
dana lain, seperti 20% dari ghanimah, semua sumber ekonomi yang dikuasai oleh
negaa, dan lain sebagainya.
c.
Sumber-sumber
pendukung, berupa pajak dan berbagai bentuk pungutan untuk menambah kekurangan
kas.[6]
Al-Qur’an
tidak hanya menghimbau untuk memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan
mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta. Tetapi lebih dari itu membebani
setiap orang Mu'min mendorong pula orang lain memperhatikan orang-orang miskin
dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan
kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat. Dalam surat Al
Fajr ayat 17-18, Allah membentak orang-orang Jahiliah yang mengatakan bahwa
agama mereka justru untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berasal dari nenek
moyang mereka, Ibrahim; Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak
memberi makan orang miskin.
Demikian
pula pada surat Al Ma’un dimana dikatakan; orang yang mengusir anak yatim dan
tidak mendorong memberi makan orang miskin" dikatakan sebagai orang yang
mendustakan agama. Orang yang tidak pernah menghimbau orang lain untuk memberi
makan orang miskin biasanya tidak pernah pula memberi makan orang miskin
tersebut. Tuhan mengungkapkan dalam bentuk sindiran dengan tujuan apabila
seseorang tidak mampu memenuhi harapan orang miskin, maka ia harus meminta
orang lain melakukannya.
Digambarkan
disini orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadarai sepenuhnya bahwa
kekayaan mereka bukanlah milik sendiri yang dapat mereka perlakukan semau
mereka, tetapi menyadari bahwa di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang
butuh. Dan hak itu bukan pula merupakan hadiah atau sumbangan karena kemurahan
hati mereka, tetapi sudah merupakan hak orang-orang tersebut. Penerima tidak
bisa merasa rendah dan pemberi tidak bisa merasa lebih tinggi.
Ayat-ayat
di atas diturunkan di Makkah, sementara zakat diwajibkan di Madinah. Dengan
demikian, sejak saat-saat awal kurun Makkah, Islam telah menanamkan kesadaran
di dalam dada orang-orang Islam bahwa ada hak-hak orang yang berkekurangan
dalam harta mereka. Hak yang harus dikeluarkan, tidak hanya berupa sedekah
sunnat yang mereka berikan atau tidak diberikan sekehendak mereka sendiri.
Walau
Al Quran sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makiah, namun demikian zakat
itu sendiri baru diwajibkan di Madinah. Zakat yang turun dalam ayat-ayat Makiyah
tidak sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya
sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur,
dan negara bertanggung jawab mengelolahnya.
Daftar Pustaka
Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah Volume 15. Jakarta: Lentera Hati.
Ridwan,
Nur Khalik. 2008. Tafsir surah Al-Ma’un. Jakarta: Erlangga.
Hakim, Arif
Rohman. http://www.hkm-arif.com/html/guru.php?id=profil&kode=
87&profil=QS.%20Al-Maun%20:%201%20-%207.
(diupdate pada tanggal 11 April 2012)
Qardhawi, Yusuf. 2002. Teologi Kemiskinan. Yogyakarta: Mitra
Pustaka.
[1] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 15, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hal. 650.
[2] Nur
Khalik Ridwan, Tafsir surah Al-Ma’un, (Jakarta: Erlangga, 2008 ), hal.
238.
[3] Ibid,
hal. 246-247.
[4] Ibid,
hal. 252-255.
[5]
Arif Rohman Hakim, http://www.hkm-arif.com/html/guru.php?id=profil&kode=87&profil=QS.%20Al-Maun%20:%201%20-%207.
(diupdate pada tanggal 11 April 2012)
[6]
Yusuf Qardhawi, Teologi Kemiskinan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002),
hal. 288-289.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar